Sepi malam 13 Oktober 2011, menjadi perenda saksi Himpunan kosong yang meretas luka dalam jiwaku. Deringan motor yang berlalu lalang menemani hati yang teriris duri-duri tajam cinta.
Ah..., Makassar, kau tak mengenalku. Akulah subset terluka dari hiruk pikukmu. Dalam limit ajal, hanya dimensi empat tempatku memendam rasa.
Interval kehidupan mengantar sepi-sepi linier yang terintegrasi dalam semesta tanpa senyum. Distribusi Abnormal bagai mimpi tanpa syarat batas dalam setiap absis dan ordinat jejak langkahku. Mungkinkah kuncup-kuncup bahagia akan mengakhiri deret tak berpola ini??
Tak ada probabilitas, apalagi nilai harapan dalam ukiran sastra tanpa Logika ini. Hanya sekedar asumsi-asumsi pengantar tidur pembuai mimpi buruk.
Apa gunanya vektor-vektor pembaharu, sementara teorema lampau, terus menjadi bagian imaginer hidup. Dan jangan pula berharap aljabar pengurai titik nadir itu akan ada, karena pecahan-pecahan di atas nilai pasti cuma bagian persentase konyol seniman angka yang terluka ini.
Kesedihan ini telah menjadi aksioma hidup, bukan lagi dalam derajat fuzzy.
Dan kembali hanya tanya yang muncul, benarkah ini potret geometris hidupku?
like this! pintar nulis juga rupanya... hmmm...
ReplyDeleteThanks... Sodara
Delete