PUISI KARYA EMHA AINUN NAJIB
ANTARA TIGA KOTA
Oleh :
Emha Ainun Najib
di yogya aku lelap tertidur
angin di sisiku mendengkur
seluruh kota pun bagai dalam kubur
pohon-pohon semua mengantuk
di sini kamu harus belajar berlatih
tetap hidup sambil mengantuk
kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
Jakrta menghardik nasibku
melecut menghantam pundakku
tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku
jatuh bergelut debu
kemanakah harus juhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga
surabaya seperti ditengahnya
tak tidur seperti kerbau tua
tak juga membelalakkan mata
tetapi di sana ada kasihku
yang hilang kembangnya
jika aku mendekatinya
kemanakah haru kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997
BEGITU
ENGKAU BERSUJUD
Oleh
:
Emha
Ainun Najib
Begitu
engakau bersujud, terbangunlah ruang
yang
kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap
kali engkau bersujud, setiap kali
pula
telah engkau dirikan masjid
Wahai,
betapa menakjubkan, berapa ribu masjid
telah
kau bengun selama hidupmu?
Tak
terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi,
menembus langit, memasuki
alam
makrifat
Setiap
gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
bernama
masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap
lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha
Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap
butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke
piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan
setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta
kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
adzan
Kalau
engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau
engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah,
engkaulah kiblat
Kalau
engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar
Allah, engkaulah tilawah suci
Dan
kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah,
engkaulah ayatullah
Ilmu
pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu
bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan
ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah
engkau masjid
1987
DARI
BENTANGAN LANGIT
Oleh
:
Emha
Ainun Najib
Dari
bentangan langit yang semu
Ia,
kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh
perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu
lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu
hutan !
Mengekal
tanah berbongkahan !
datang
kepadamu, Ia, kemarau itu
dari
Tuhan, yang senantia diam
dari
tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang
senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
Antologi
Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997
DITANYAKAN
KEPADANYA
Oleh
:
Emha
Ainun Najib
Ditanyakan
kepadanya siapakah pencuri
Jawabnya:
ialah pisang yang berbuah mangga
Tak
demikian Allah menata
Maka
berdusta ia
Ditanyakan
kepadanya siapakah penumpuk harta
Jawabnya:
ialah matahari yang tak bercahaya
Tak
demikian sunnatullah berkata
Maka
cerdusta ia
Ditanyakan
kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya:
bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi
kacaulah sistem alam semesta
Maka
berdusta ia
Ditanyakan
kepadanya sapakah penindas
Jawabnya:
ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya
tradisi alam dan manusia
Maka
berdusta ia
Ditanyakan
kepadanya siapa pemanja kebebasan
Ialah
burung terbang tinggi menuju matahari
Burung
Allah tak sedia bunuh diri
Maka
berdusta ia
Ditanyakn
kepadanya siapa orang lalai
Ialah
siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan
Allah sedemikian rupa mengelola
Maka
berdusta ia
Ditanyakan
kepadanya siapa orang ingkar
Ialah
air yang mengalir ke angkasa
Padahal
telah ditetapkan hukum alam benda
Maka
berdusta ia
Kemudian
siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah
benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang
wajib menebangnya
Agar
tak berdusta ia
Kemudian
siapakah orang lemah perjuangan
Ialah
api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang
harus menggertak jiwanya
Agar
tak berdusta ia
Kemudian
siapakah pedagang penyihir
Ialah
kijang kencana berlari di atas air
Orang
harus meninggalkannya
Agar
tak berdusta ia
Adapun
siapakah budak kepentingan pribadi
Ialah
babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang
harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar
tak berdusta ia
Dan
akhirnya siapakah orang tak paham cinta
Ialah
burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan
puisi di telinganya
Agar
tak berdusta ia
1988
DOA
SEHELAI DAUN KERING
---------------------------------------------------------------------
---
Janganku
suaraku, ya 'Aziz
Sedangkan
firmanMupun diabaikan
Jangankan
ucapanku, ya Qawiy
Sedangkan
ayatMupun disepelekan
Jangankan
cintaku, ya Dzul Quwwah
Sedangkan
kasih sayangMupun dibuang
Jangankan
sapaanku, ya Matin
Sedangkan
solusi tawaranMupun diremehkan
Betapa
naifnya harapanku untuk diterima oleh mereka
Sedangkan
jasa penciptaanMupun dihapus
Betapa
lucunya dambaanku untuk didengarkan oleh mereka
Sedangkan
kitabMu diingkari oleh seribu peradaban
Betapa
tidak wajar aku merasa berhak untuk mereka hormati
Sedangkan
rahman rahimMu diingat hanya sangat sesekali
Betapa
tak masuk akal keinginanku untuk tak mereka sakiti
Sedangkan
kekasihMu Muhammad dilempar batu
Sedangkan
IbrahimMu dibakar
Sedangkan
YunusMu dicampakkan ke laut
Sedangkan
NuhMu dibiarkan kesepian
Akan
tetapi wahai Qadir Muqtadir
Wahai
Jabbar Mutakabbir
Engkau
Maha Agung dan aku kerdil
Engkau
Maha Dahsyat dan aku picisan
Engkau
Maha Kuat dan aku lemah
Engkau
Maha Kaya dan aku papa
Engkau
Maha Suci dan aku kumuh
Engkau
Maha Tinggi dan aku rendah serendah-rendahnya
Akan
tetapi wahai Qahir wahai Qahhar
Rasul
kekasihMu maÃshum dan aku bergelimang hawaÃ
Nabi
utusanmu terpelihara sedangkan aku terjerembab-jerembab
Wahai
Mannan wahai Karim
Wahai
Fattah wahai Halim
Aku
setitik debu namun bersujud kepadaMu
Aku
sehelai daun kering namun bertasbih kepadaMu
Aku
budak yang kesepian namun yakin pada kasih sayang dan pembelaanMu
Emha
Ainun Nadjib Jakarta 11 Pebruari 1999
IKRAR
Oleh :
Emha Ainun Najib
Di dalam sinar-Mu
Segala soal dan wajah dunia
Tak menyebabkan apa-apa
Aku sendirilah yang menggerakkan laku
Atas nama-Mu
Kuambil siakp, total dan tuntas
maka getaranku
Adalah getaran-Mu
lenyap segala dimensi
baik dan buruk, kuat dan lemah
Keutuhan yang ada
Terpelihara dalam pasrah dan setia
Menangis dalam tertawa
Bersedih dalam gembira
Atau sebaliknya
tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu
Mulus dalam nilai satu
Kesadaran yang lebih tinggi
Mengatasi pikiran dan emosi
menetaplah, berbahagialah
Demi para tetangga
tetapi di dalam kamu kosong
Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan
Kugenggam kamu
Kau genggam aku
Jangan sentuh apapun
Yang menyebabkan noda
Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya
Berangkat ulang jengkal pertama
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997
KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANG
Oleh :
Emha Ainun Najib
Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar
Bacaan Al-Fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya
Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis
Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali
Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya
Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun
Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan
1987
KITA MASUKI PASAR RIBA
Oleh :
Emha Ainun Najib
Kita pasar riba
Medan perang keserakahan
Seperti ikan dalam air tenggelam
Tak bisa ambil jarak
Tak tahu langit
Ke kiri dosa ke kanan dusta
Bernapas air
Makan minum air
Darah riba mengalir
Kita masuki pasar riba
Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan
Telanjur jadi uang recehan
Dari putaran riba politik dan ekonomi
Sistem yang membunuh sebelum mati
Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama
Tegantung kepentingannya apa
Tergantung rugi atu laba
Kita pilih kepada siapa tertawa
1987
KUDEKAP KUSAYANG-SAYANG
Oleh :
Emha Ainun Naijb
Kepadamu kekasih kupersembahkan segala api keperihan
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu
Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika
mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari
mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.
1994
(Dari Kumpulan sajak Abracadabra Kita Ngumpet,
Yayasan Bentang Budaya Yogyakarta, 1994, halaman 7)
Republika, 24 Januari 1999
MEMECAH MENGUTUHKAN
Oleh :
Emha Ainun Najib
Kerja dan fungsi memecah manusia
Sujud sembahyang mengutuhkannya
Ego dan nafsu menumpas kehidupan
Oleh cinta nyawa dikembalikan
Lengan tanganmu tanggal sebelah
Karena siang hari politik yang gerah
Deru mesin ekonomi membekukan tubuhmu
Cambuk impian membuat jiwamu jadi hantu
Suami dan istri tak saling mengabdi
Tak mengalahkan atau memenangi
Keduanya adalah sahabat bergandengan tangan
Bersama-sama mengarungi jejeak Tuhan
Kalau berpcu mempersaingkan hari esok
Jangan lupakan cinta di kandungan cakrawala
Kalau cemas karena diiming-imingi tetangga
Berkacalah pada sunyi di gua garba rahasia
1987
SEPENGGAL PUISI CAK NUN
Oleh :
Emha Ainun Najib
sayang sayang kita tak tau kemana pergi
tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
langkah kita mengabdi pada kepentingan nafsu sendiri
yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri
loyang disangka emas emasnya di buang buang
kita makin buta yang mana utara yang mana selatan
yang kecil dibesarkan yang besar di remehkan
yang penting disepelekan yang sepele diutamakan
Allah Allah betapa busuk hidup kami
dan masih akan membusuk lagi
betapa gelap hari di depan kami
mohon ayomilah kami yang kecil ini
SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA
Oleh :
Emha Ainun Najib
Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati
Tak boleh hilang salah satunyaa
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu
Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati
Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada
Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkannama Allah ta'ala
Kita diajari mengenali-Nya
Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna
Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan
Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya
Lima
Masjid ruh kita baw ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya
Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab majid ruh adalah semesta raya
Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita
Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya
Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala
Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan
Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat
Delapan
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah
Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali
Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah
Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan
Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh
Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan
Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin
kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!
No comments:
Post a Comment