Perasaan hanya dibui selaput tipis agar ia tersakiti,
seperti air yang hanya butuh satu sentuhan agar ia beriak. Dan perasaan juga
hanya butuh satu rasa sakit untuk membunuh mimpi yang telah lama ada, seperti riak air yang hanya butuh sedetik untuk
membunuh keheningan. Adalah satu hal yang sangat lucu sekaligus ironis ketika hati
menyelimuti logika.
Gerimis belum tertidur ketika kulihat ia (wanita itu)
menikmati rayuan sang Penggombal ulung. Ada rasa yang tak mampu kuhaturkan dan
ada sakit yang tak mampu terungkapkan dalam relung jiwa memperhatikannya. Bukan
karena sang perayu tak sempurna, melainkan karena sang wanitalah yang belum
sempurna.
***
Seribu jurus telah digunakan sang lelaki, dan seribu jurus
pula yang mengenai sang wanita. Pilur-pilur bahagia penuhi raut wajahnya. Bulanpun
tak mampu merona sepertinya. Sangat indah. Cinta, untuk apa kau memenjarakannya
dalam bom waktu yang akan membunuhnya. Maafkan aku yang terlanjur tak sanggup melihatnya
bahagia.
Andai aku diberi pilihan, melihat cinta membuatnya tersenyum
hari ini, atau mendengar cinta membuatnya bahagia nanti setelah lafadz akad
nikah dilontarkan oleh lelaki sejati yang akan datang, maka dengan rasa, aku kan berteriak “Tunggu sajalah lelaki sejati
itu!”.
Ingin aku sampaikan padanya, “Nantikan ia yang
benar-benar mencintaimu dengan syair di hadapan orang tuamu, karena ia yang
berpuisi di hadapanmu hari ini, masihlah berbicara tentang janji. Dan aku ingin
kau tahu bahwa setiap laki-laki mungkin saja bergenit-genit ria di hadapan seribu
wanita, namun hanya akan ada satu wanita yang ia kenang sebelum tertidur
nyenyak di malam hari, yaitu wanita yang paling ia sayang. Sudahkah kau yakin
bahwa kaulah yang paling ia sayang ??”
No comments:
Post a Comment