10 December 2013

Sarjana, Antara Idealitas dan Realitas


Sarjana, satu kata yang begitu besar, begitu agung, begitu mulia jika kata itu diucapkan di hadapan warga kampung yang buta akan realita dunia pendidikan.
Sarjana, idealnya adalah suatu kata yang menggambarkan kemampuan intelektual dan akademik seseorang yang nantinya akan melahirkan softskill yang berguna untuk melanjutkan peradaban manusia. Seorang sarjana adalah orang-orang seharusnya mampu memberikan sumbangsihnya dalam menyelesaikan setiap problematika kehidupan yang ada, terkhusus masalah terkait dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Sarjana seharusnya adalah peluncur-peluncur negeri ini, para peretas jalan guna mengejar ketertinggalan kita dibanding bangsa lain. Sarjana adalah harapan bangsa, sebagai genarasi muda berpendidikan.

Namun, di dunia realita semua kata-kata indah tentang sarjana itu hanyalah sekedar angan-angan. Sarjana bukanlah orang-orang mulia yang bisa menjadi peluncur. Mereka tak tahu, gelar itu mau di apakan. Bahkan dewasa ini sarjana cenderung menjadi masalah baru, tatkala mereka yang bergelar sarjana dan menganggap dengan gelar itu mereka tak lagi pantas bekerja di tempat yang dapat mengotori mereka. Sarjana pertanian lebih memilih menganggur dibanding terjun langsung ke lapangan mengaplikasikan ilmu yang mereka miliki. Sarjana pendidikan menumpuk di satu sekolah di kota  menjadi tenaga honorer ataupun tenaga sukarela dan membiarkan sekolah di ujung kampung hanya di ajar satu orang guru yang bahkan tak tamata sekolah menengah. Sarjana Ekonomi lebih memilih untuk nongkrong di pos ronda dibanding bergelut dengan keringatnya membanting tulang membantu usaha kecil keluarga yang notabene membiayai kuliahnya. Sarjana adalah sekumpulan orang yang paling vokal berteriak meminta pemerintah membuka lapangan kerja dimana ia ingin bekerja sekalipun disiplin ilmunya sama sekali tak cocok dengan tempat itu. Sarjana adalah sekelompok orang yang paling banyak mengemis pekerjaan tanpa berusaha mencari jalan sendiri. Ditambah lagi dengan nge-trendnya KKN, membuat mahasiswa yang tidak punya backing akhirnya semakin kehilangan jalan untuk bersaing. Singkatnya kuliah di PT hanya menjadi penunda status pengangguran.

Wajar saja, jika salah seorang pemeran dalam film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” berujar bahwa pendidikan (sarjana) itu penting kalo punya relasi, kalo tidak, maka pendidikan itu bukanlah sesuatu yang penting.

No comments:

Post a Comment