Sarjana, satu kata yang begitu besar, begitu agung, begitu
mulia jika kata itu diucapkan di
hadapan warga kampung yang buta akan realita dunia pendidikan.
Namun, di dunia realita semua kata-kata indah tentang
sarjana itu hanyalah sekedar angan-angan. Sarjana bukanlah orang-orang mulia
yang bisa menjadi peluncur. Mereka tak tahu, gelar itu mau di apakan. Bahkan
dewasa ini sarjana cenderung menjadi masalah baru, tatkala mereka yang bergelar
sarjana dan menganggap dengan gelar itu mereka tak lagi pantas bekerja di
tempat yang dapat mengotori mereka. Sarjana pertanian lebih memilih menganggur
dibanding terjun langsung ke lapangan mengaplikasikan ilmu yang mereka miliki. Sarjana
pendidikan menumpuk di satu sekolah di kota
menjadi tenaga honorer ataupun tenaga sukarela dan membiarkan sekolah di
ujung kampung hanya di ajar satu orang guru yang bahkan tak tamata sekolah
menengah. Sarjana Ekonomi lebih memilih untuk nongkrong di pos ronda dibanding
bergelut dengan keringatnya membanting tulang membantu usaha kecil keluarga
yang notabene membiayai kuliahnya. Sarjana adalah sekumpulan orang yang paling
vokal berteriak meminta pemerintah membuka lapangan kerja dimana ia ingin
bekerja sekalipun disiplin ilmunya sama sekali tak cocok dengan tempat itu.
Sarjana adalah sekelompok orang yang paling banyak mengemis pekerjaan tanpa
berusaha mencari jalan sendiri. Ditambah lagi dengan nge-trendnya KKN, membuat
mahasiswa yang tidak punya backing
akhirnya semakin kehilangan jalan untuk bersaing. Singkatnya kuliah di PT hanya
menjadi penunda status pengangguran.
Wajar saja, jika salah seorang pemeran dalam film “Alangkah
Lucunya Negeri Ini” berujar bahwa pendidikan (sarjana) itu penting kalo punya
relasi, kalo tidak, maka pendidikan itu bukanlah sesuatu yang penting.
No comments:
Post a Comment