9 June 2012

Perjuanganku untuk Kesucian

Kutuai  akalku dalam tulisan ini bukan karena ku mencapai derajat sempurna, melainkan karena sebaliknya. Sebagai sebuah renungan dalam memandang sang Mentari.


Hari makin indah, tak seiring mimpiku yang justru makin tenggelam. Belaian angin menyelimuti kegelapan jiwa yang mengental dalam kehancuran. Jiwa bergejolak mengiringi realita yang jauh dari konsep idealitas sang kreator kebahagiaan. Mimpi ini hanya angan. Besok ia akan bubar bersama butir-butir embun yang menguap karena cahaya sang mentari.
Dan masa ternyata terlalu lama tertidur untuk menyadarkanku bahwa kehidupanpun siap merenggut kesucian. Bukan persoalan mana yang lebih baik, tapi persoalan siapa yang lebih konsisten. Ragakupun tak sanggup menolak  bercumbu dengan ketakaburan untuk sebuah revolusi. Iya, andai tak ada takabur di dalamnya, semua lebih mudah, tapi sayangnya tak akan indah. Bait-bait sang revolusioner hari inipun seperti sebuah mixer raksasa yang memaksa susu dan air tuak menjadi satu, bukan lagi sebagai proses pemurnian emas dalam suling.

Matematika mengajarkanku bahwa di atas sebuah rasionalitas ada tempat kompleks yang menyatukan semuanya. Tapi, ternyata ego belum bisa menerima sesuatu yang tak terharapkan. Misteri hidup terus terbuka, tapi jua terus memproduksi misteri baru. Seperti lingkaran domino “ceki palang”. Berputar, rahasia menjadi berita, dan berita menjadi rahasia. Tak lagi terlihat implikasi dari sebuah niat  baik karena selalu saja ada bercak-bercak noda meretas dosa dalam segala aspek hidup. Surat tantangan untuk semua pemimpin terhebat yang hidup hari ini, Silahkan coba pimpin dunia ini dengan segala akal maupun kebajikan yang Anda miliki, tapi sadarlah, bersamaan dengan itu, wajahmu dalam bingkai foto penghargaan setinggi langit itu juga akan usang dan bernoda termakan waktu. Bukan hanya waktu tapi konsolidasi antara waktu dan lingkungan itulah yang membunuh dirimu. Anda mungkin terus menjadi pemimpin “sejati”, tapi di imajinasiku secuilpun Anda tak bisa mengaturku.

Teori yang hadir datang tak lagi menjadi pelengkap, tapi telah menjadi pembunuh, mematikan kebebasan dan di sisi lain mengekang aturan. Apakah ini yang harus terjadi? Kemunafikan tumpah ruah penuhi rahang-rahang maupun jejak langkah, sementara kebajikan bahkan tak mampu menyucikan diri meski ia Ada dalam tempat yang katanya paling suci.

Marilah,Sodara. Ayolah kita berjuang untuk kesucian, karena kita berasal dari kesucian.

No comments:

Post a Comment