Kutuai akalku dalam
tulisan ini bukan karena ku mencapai derajat sempurna, melainkan karena
sebaliknya. Sebagai sebuah renungan dalam memandang sang Mentari.
Hari makin indah, tak seiring mimpiku yang justru makin
tenggelam. Belaian angin menyelimuti kegelapan jiwa yang mengental dalam
kehancuran. Jiwa bergejolak mengiringi realita yang jauh dari konsep idealitas
sang kreator kebahagiaan. Mimpi ini hanya angan. Besok ia akan bubar bersama
butir-butir embun yang menguap karena cahaya sang mentari.
Dan masa ternyata terlalu lama tertidur untuk menyadarkanku bahwa kehidupanpun
siap merenggut kesucian. Bukan persoalan mana yang lebih baik, tapi persoalan
siapa yang lebih konsisten. Ragakupun tak sanggup menolak bercumbu dengan ketakaburan untuk sebuah revolusi.
Iya, andai tak ada takabur di dalamnya, semua lebih mudah, tapi sayangnya tak akan
indah. Bait-bait sang revolusioner hari inipun seperti sebuah mixer raksasa yang memaksa susu dan air
tuak menjadi satu, bukan lagi sebagai proses pemurnian emas dalam suling.
Matematika mengajarkanku bahwa di atas sebuah rasionalitas
ada tempat kompleks yang menyatukan semuanya. Tapi, ternyata ego belum bisa
menerima sesuatu yang tak terharapkan. Misteri hidup terus terbuka, tapi jua
terus memproduksi misteri baru. Seperti lingkaran domino “ceki palang”. Berputar, rahasia menjadi berita, dan berita menjadi
rahasia. Tak lagi terlihat implikasi dari sebuah niat baik karena selalu saja ada bercak-bercak
noda meretas dosa dalam segala aspek hidup. Surat tantangan untuk semua
pemimpin terhebat yang hidup hari ini, Silahkan coba pimpin dunia ini dengan
segala akal maupun kebajikan yang Anda miliki, tapi sadarlah, bersamaan dengan
itu, wajahmu dalam bingkai foto penghargaan setinggi langit itu juga akan usang
dan bernoda termakan waktu. Bukan hanya waktu tapi konsolidasi antara waktu dan
lingkungan itulah yang membunuh dirimu. Anda mungkin terus menjadi pemimpin
“sejati”, tapi di imajinasiku secuilpun Anda tak bisa mengaturku.
Teori yang hadir datang tak lagi menjadi pelengkap, tapi
telah menjadi pembunuh, mematikan kebebasan dan di sisi lain mengekang aturan.
Apakah ini yang harus terjadi? Kemunafikan tumpah ruah penuhi rahang-rahang
maupun jejak langkah, sementara kebajikan bahkan tak mampu menyucikan diri
meski ia Ada dalam tempat yang katanya paling suci.
Marilah,Sodara. Ayolah kita berjuang untuk kesucian, karena
kita berasal dari kesucian.
No comments:
Post a Comment